Sejarah
Singkat Jakarta Biennale
Perjalanan Jakarta
Biennale bermula pada 1974, ketika Dewan Kesenian Jakarta (DKJ)
menyelenggarakan sebuah pameran bernama Pameran Seni Lukis Indonesia di Taman
Ismail Marzuki. DKJ merupakan salah satu lembaga yang dibentuk oleh masyarakat
seniman dan dikukuhkan oleh Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, pada 7 Juni 1968
sebagai mitra kerja Gubernur Kepala Daerah Propinsi DKI Jakarta untuk
merumuskan kebijakan guna mendukung kegiatan dan pengembangan kehidupan
kesenian di wilayah Propinsi DKI Jakarta.
Sebanyak 81 pelukis
dari berbagai wilayah dan generasi seniman terlibat dalam Pameran Seni Lukis
Indonesia itu. Selain penyelenggaraan pameran, sebuah panel juri dibentuk untuk
memberikan penghargaan pada karya-karya terbaik dalam pameran tersebut. Meski
belum menggunakan istilag “biennale”, pameran tersebut telah direncanakan untuk
diadakan setiap dua tahun sekali.
Pameran ini langsung menuai
protes dari generasi muda yang tidak puas dengan kriteria penjurian yang
dilakukan. Peristiwa protes tersebut dikenal sebagai peristiwa Desember Hitam,
yang kemudian memicu kemunculan Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia 1975. Model
penyelenggaraan yang sama kembali diselenggarakan pada tiga biennale berikutnya
pada 1976, 1978, dan 1980.
Nama penyelenggaraan pada
tahun-tahun tersebut berganti menjadi Pameran Besar Seni Lukis Indonesia. Baru
pada penyelenggaraan pameran edisi 1982, nama biennale untuk pertama kalinya
digunakan, dan namanya menjadi Pameran Biennale V. Selanjutnya, penggunaan
istilah biennale diteruskan pada edisi 1984, dengan tajuk Biennale Seni Lukis
Indonesia VI. Biennale VII berlangsung pada 1987.
Perubahan
Penting
Beberapa perubahan
terjadi pada Biennale Seni Rupa Jakarta IX 1993 (BSRJ IX 1993). Perubahan
paling terlihat adalah penggunaan istilah “seni rupa” menggantikan “seni lukis”
yang telah dipakai sebelumnya. Beberapa karya-karya dengan medium di luar
lukisan ditampilkan, seperti seni instalasi, seni video, dan performans. Juga
pada perhelatan BJ 1993, Biennale Jakarta pertama kalinya menggunakan “kurator”
sebagai perumus perspektif pemilihan dan penyajian karya dalam pameran.
BSRJ IX 1993 tidak terlepas dari
polemik, karena penyelenggaraan biennale ini kerap dianggap sebagai proyek
pribadi kurator dalam menerjemahkan ide-ide pascamodernisme, yang dikedepankan
oleh Jim Supangkat sebagai kurator pada BSRJ IX 1993. Seni lukis kembali
mendominasi Biennale X pada 1996 dan Biennale XI pada 1998. Penyelenggara turut
mengadakan program tambahan untuk menampilkan kembali karya-karya maestro
pelukis Indonesia. Pasca 1998, Jakarta Biennale tidak diselenggarakan untuk
waktu yang cukup lama, terkait kondisi sosial politik Indonesia pada masa
pergantian rezim pemerintahan dari Orde Baru ke masa Reformasi. Jakarta
Biennale kembali diadakan delapan tahun kemudian, dengan tajuk Biennale Jakarta
2006. Pada edisi ke-12 ini, pameran diselenggarakan di Taman Ismail Marzuki,
Museum Seni Rupa & Keramik, dan sejumlah galeri.
Tiga tahun setelah BJ 2006,
Jakarta Biennale kembali diadakan dengan tajuk Jakarta Biennale XIII 2009:
ARENA. Pada biennale ini penggunaan tema besar mulai dilakukan. Tema ARENA
dipilih untuk membaca Jakarta sebagai tempat pertarungan tanpa henti. Pada
Jakarta Biennale kali ini, untuk pertama kalinya perhelatan tersebut dirancang
dalam skala internasional, dengan mengundang seniman-seniman mancanegara,
menjadikan Jakarta sebagai tuan rumah bagi perkembangan seni rupa dunia.
Terobosan lainnya
adalah menyelenggarakan karya-karya seni rupa di berbagai ruang publik Jakarta.
Jakarta Biennale #14 hadir pada 2011 dengan tema Maximum City, untuk menanggapi
kota Jakarta yang semakin penuh dan juga sesak. Skala acara menjadi semakin
besar, melibatkan lebih dari 150 seniman dan puluhan lokasi di ruang publik.
Jakarta Biennale berikutnya pada 2013 diadakan dengan tema SIASAT. Pameran
berfokus pada siasat-siasat warga yang lahir organik di tengah perkembangan
kota yang seringkali tak melibatkan mereka.
Tradisi pemanfaatan ruang publik
dipertahankan, bahkan diperluas cakupannya. Ruang-ruang publik tidak sekadar
menjadi ruang singgah dan menetap karya, tapi turut melibatkan warga melalui
kegiatan komunitas-komunitas setempat di berbagai wilayah Jakarta. Jakarta
Biennale 2015 “Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang” merupakan
penyelenggaraan Jakarta Biennale terbaru ketika penelitian ini dilakukan. JB
2015 dipimpin oleh Charles Esche sebagai kurator kepala, beserta enam kurator muda
Indonesia yang tergabung dalam Curators Lab.
Curators Lab
dikembangkan oleh JB 2015 sebagai tempat belajar dan berkolaborasi di antara
kurator muda dan kurator yang telah berpengalaman (jakartabiennale.net, 2017).
Sampai pada saat penelitian ini dilakukan, Jakarta Biennale 2017 sedang
mempersiapkan dirinya untuk penyelenggaraan JIWA: Jakarta Biennale 2017. Tema
Jiwa dipilih oleh Melati Suryodarmo sebagai direktur artistik pada
penyelenggaraan JB ke-17 ini. Melati Suryodarmo dipilih oleh Jakarta Biennale
sebagai artistik direktur untuk menyelenggarakan JB 2017, bersama empat kurator
yang dipilih melalui proses pemilihan terbuka.
Pameran Jakarta Biennale ini
sangat bagus dan menarik perhatian semua kalangan anak muda maupun orang tua.
Pameran Jakarta Biennale pun memamerkan banyak sekali pameran loh, jadi jangan
lewatin pameran yang satu ini karena hanya 2 tahun sekali diselenggarakannya.
Letaknya di Gudang Sarinah, Jl. Pancoran Timur II No. 4, Jakarta Selatan.
Referensi :
0 komentar:
Posting Komentar